Tidak semua orang mau datang ke masjid, tidak semua orang suka membaca buku. Namun, dakwah digital memberikan kemudahan akses bagi mereka yang ingin belajar agama. Demikian disampaikan Oki Setiana Dewi dalam seminar Ramadhan 2025: “Dakwah Digital & Spiritualitas-Moralitas Masyarakat di Indonesia” yang diselenggarakan The Lead Institute, Universitas Paramadina, Selasa (18/3/2023).
Di era digital, dakwah tidak lagi terbatas pada mimbar masjid atau kajian tatap muka. Oki, seorang selebritas sekaligus pendakwah menekankan pentingnya media sosial dalam menyebarkan nilai-nilai Islam.
Dipandu Peneliti The Lead Institute Maya Fransiska, S.Ag, seminar ini membahas fenomena dakwah digital yang semakin berkembang, tantangan literasi digital masyarakat, serta dampaknya terhadap kehidupan spiritual dan moral.
Oki yang juga Pendiri Pesantren Tahfidz Maskanul Hufadz mengungkapkan fenomena hijrah yang marak di kalangan selebritas dan kelas menengah muslim, salah satunya dipengaruhi oleh dakwah digital.
Disertasinya berjudul “Penerimaan Kelas Menengah Muslim terhadap Dakwah Salafi dan Jamaah Tabligh; Studi Pengajian Selebriti Hijrah (2000-2019)” memotret fenomena dakwah salafi yang diterima kalangan selebritas dan kelas menengah atas.
Ternyata hal ini dipengaruhi karena komunitas salafi lebih dahulu memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan dakwah, sehingga menarik banyak orang untuk belajar agama secara lebih mudah dan cepat.
“Kalau kita lihat situs-situs keagamaan banyak teman-teman salafi yang membuatnya, walaupun pada akhirnya belakangan ini telah terbit juga NU Online, LensaMU dan sebagainya,” kata Oki yang kini tinggal di Mesir.
Sebagai seorang selebritas yang aktif dalam dakwah digital, Oki membagi akun media sosialnya menjadi dua kategori: satu khusus untuk dakwah dan satu lagi untuk kegiatan dunia hiburan serta bisnis.
“Bagi saya, dakwah tidak harus selalu berada di mimbar. Dakwah bisa dalam berbagai bentuk, termasuk film, tulisan, gaya berbusana, bahkan bisnis. Saya menjalankan bisnis bukan untuk hidup dari dakwah, tetapi untuk menghidupkan dakwah,” jelasnya.
Dalam perjalanannya, Oki juga menghadapi tantangan dalam menyebarkan dakwah melalui media sosial. Salah satu tantangan terbesar adalah risiko salah persepsi akibat potongan-potongan video ceramah yang diambil di luar konteks.
“Kadang-kadang yang di lapangan seperti apa ketika sudah masuk ke sosial media kesannya jadi berbeda. Ada orang yang mencomot dan kemudian memotong-motong ceramah sehingga menimbulkan persepsi yang lain.” tutur Oki.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Tri Wahyuti, M.Si menjelaskan karakter utama dakwah digital adalah keaktifan para jamaahnya selaku konsumen media.
Masyarakat dalam perspektif digital ketika membaca atau melihat konten-konten, mereka adalah muslim modern yang aktif memilih pendakwah, platform apa, dan konten seperti apa.
“Ada orang yang lebih suka dengan ustadz A atau ustadz B itu adalah bentuk orang aktif memilih siapa pendakwah yang akan dia konsumsi konten-kontennya,” katanya.
Tri mengatakan bahwa media digital memungkinkan transformasi pesan-pesan keagamaan menjadi lebih beragam.
Tri menguraikan bahwa konsumsi konten dakwah paling besar di Indonesia adalah pencarian informasi keagamaan (67%). Kemudian yang kedua untuk penguatan spiritual (58%).
Kemudian ada rasa komunitas (49%) yang menciptakan kedekatan digital, ada juga yang mencari hiburan religius (43%), serta untuk validasi identitas keagamaan mereka (41%).
“Kebutuhan-kebutuhan ini akhirnya menyebabkan apa yang disebut “diet spiritual”, orang tidak lagi mencari semua informasi, tapi sudah terpersonalisasi berdasarkan kebutuhan mereka saja. Dan sosial media memenuhi kebutuhan tersebut dengan adanya algoritma,” kata Tri.
Jebakan Komodifikasi Dakwah Digital yang Berorientasi Pasar
Di balik gegap gempita perkembangan dakwah digital, tersembunyi ancaman lain bagi para pendakwah, yakni komodifikasi dan komersialisasi dakwah.
Ketua The Lead Institute, Dr.phil, Suratno Muchoeri mengatakan, dakwah digital rentan menjerat seorang pendakwah kepada praktik komodifikasi agama.
Misalnya pendakwah yang cenderung memilih jamaah berdasarkan tarif tertentu, sehingga dakwah berisiko menjadi lebih berorientasi pasar dibandingkan pada esensi dakwah itu sendiri.
“Godaan untuk membalik niat dalam dakwah digital sangat besar. Jangan sampai kita mengumpulkan modal dengan modus penegakan moral,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa di era digital, batas antara dakwah dengan riya atau flexing menjadi semakin tipis, sehingga pendakwah perlu menjaga keikhlasan dalam menyampaikan pesan agama.
“Jebakan komodifikasi dakwah digital adalah membuat cara pandang dan perlakuan terhadap dakwah menjadi berbeda. Dakwah yang tujuannya mengajak, menyeru kepada jalan Tuhan, menjadi diukur dengan uang,” kata Suratno.
Surtano bilang, komodifikasi dakwah digital dapat mempengaruhi otentisitas praktik keagamaan masyarakat. Ada potensi distorsi makna dan tujuan asli dakwah dari itu sendiri.
“Bagaimanapun juga da’i adalah penjaga moral, harus ketat pada aturan agama, tidak bisa secara longgar ikut pada apa yang diinginkan pasar. Komersialisasi menimbulkan risiko pesan-pesan keagamaan menjadi lebih dangkal dan berorientasi pasar,” tuturnya.
Suratno juga mengingatkan agar para pendakwah digital berhati-hati dalam bertindak dan bertutur kata karena mereka akan dicontoh jamaahnya.
“Dakwah digital memang menuntut pendakwah kreatif dan inovatif, tapi ada potensi kontroversi. Jangan sampai pendakwah melakukan hal kontroversial demi popularitas, apalagi demi urusan komersialisasi,” imbuh Suratno.
Komentar